Riba dan permasalahannya

Pengertian Riba
    Riba menurut bahasa adalah az-ziyadah yang berarti kelebihan atau tambahan. Riba juga berarti an-nama’ yang berarti tumbuh atau berkembang. Seperti yang terdapat dalam firman Allah Swt, QS. Al-Hajj (22: 5):
    فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ
“Maka  apabila telah kami turunkan air hujan diatasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur serta menumbuhkan berbagai jenis pasangan tumbuhan yang indah.”

Pengertian riba menurut istilah adalah kelebihan harta dengan tidak ada kompensasi pada tukar menukar harta dengan harta. Menurut Sayyid Sabiq, riba adalah “tambahan terhadap modal, sedikit maupun banyak”. Abdurrahman al-Jaziri berpendapat bahwa riba adalah “penambahan pada salah satu dari dua barang sejenis yang dipertukarkan tanpa ada kompensasi terhadap tambahan tersebut”.

Dengan demikian, riba merupakan tambahan pembayaran dari modal pokok yang disyaratkan bagi salah seorang dari dua orang yang berakad.

Semua agama samawi pada dasarnya melarang praktik riba, karena dapat menimbulkan dampak negatif pada masyarakat umum dan bagi mereka yang terlibat. Adapun dampak negatif dari praktik riba dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat adalah:
a.    Menyebabkan eksploitasi (pemerasan) oleh si kaya terhadap si miskin.
b.    Menyebabkan kebangkrutan usaha yang pada gilirannya menyebabkan keretakan rumah tangga jika peminjam tidak mampu mengembalikan pinjamannya.
c.    Riba akan menimbulkan kemalasan berusaha karena pemilik modal menggantungkan pendapatan dari hasil bunga yang dipinjamkan.

Karena begitu banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan oleh riba, Allah Swt., melarang kegiatan riba. Semua itu telah diperingatkan dalam QS. Al-Baqarah (2: 275) :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ ...
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang riba); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya…”.

Orang yang kemasukan setan lantaran penyakit gila pada ayat diatas dimaksudkan dengan orang yang mengambil riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan setan.

Dalam hadis Nabi Saw. dijelaskan, “Diriwayatkan dari Jabir ia berkata: Rasulullah Saw. melaknat orang yang memakan riba, orang yang memakannya, penulisnya, dan saksi-saksinya, Rasulullah melanjutkan, mereka itu sama dosanya.”

Para ulama sepakat bahwa riba itu diharamkan. Riba adalah salah satu usaha mencari rezeki dengan cara yang tidak sehat dan dibenci Allah Swt. Praktik riba lebih mengutamakan keuntungan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin besar antara yang kaya dan miskin, serta mengurangi rasa persaudaraan. Oleh karena itu, Islam mengharamkan riba.

Allah mengharamkan riba karena banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari praktik riba tersebut. Larangan dari praktik ini adalah bertujuan menolak kemudharatan dan mewujudkan kemaslahatan manusia.

2.2    Macam-Macam Riba
    Riba menurut Jumhur Fuqaha’ ada dua, yaitu riba fadhal dan riba nasi’ah. Menurut Syafi’iyyah riba itu ada tiga macam, yakni riba fadhal, riba yad, dan riba nasi’ah. Berikut akan diuraikan macam-macam riba tersebut:

a.    Riba nasi’ah, yaitu tambahan yang disyaratkan dan diambil oleh orang yang mengutangkan dari orang yang berutang, sebagai imbangan penundaan pembayaran utang.

Riba nasi’ah merupakan praktik riba nyata. Ini dilarang dalam Islam karena dianggap sebagai penimbunan kekayaan secara tidak wajar dan mendapatkan keuntungan tanpa melakukan kebaikan. Kelebihan pembayaran karena penundaan waktu akan menambah jumlah utang orang yang berutang. Akhirnya, jumlah utangnya akan membengkak, bahkan akan mengakibatkan kebangkrutan karena mekanisme bunga berbunga. Semua ini telah diperingatkan Allah Swt. dalam QS. Ali Imran (3: 130):
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda dan takutlah kamu kepada Allah mudah-mudahan kamu beruntung”.

b.    Riba fadhal, yaitu tambahan harta pada akad jual beli yang menggunakan ukuran resmi seperti takaran dan timbangan pada benda sejenis. Dengan kata lain, riba fadhal merupakan tukar menukar barang yang sejenis yang tidak sama kualitasnya.

Riba fadhal dilarang berdasarkan hadits Nabi, “Diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, ia berkata, Rasulullah Saw., berkata (tukar-menukar) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (sejenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam harus sama dengan tunai. Siapa yang menambah atau minta tambahan, maka sesungguhnya dia memungut riba, orang yang mengambil dan memberikannya sama dosanya”.

Pada dasarnya, tukar menukar benda sejenis dibolehkan dalam Islam, dengan syarat harus sama ataupun sebanding antara kualitas dan kuantitasnya. Namun, bila disyaratkan ada nilai lebih dalam proses jual beli atau pinjam meminjam benda sejenis ini maka hal itu termasuk riba fadhal.

Berdasarkan hadits diatas, para fuqaha sepakat atas haramnya riba fadhal pada 6 kelompok harta ribawi, yakni emas, perak, gandum, jagung, kurma, garam. Illat diharamkannya tukar menukar yang tidak imbang kuantitas dan kualitas pada keenam jenis benda tersebut adalah benda yang ditakar (makilat), benda yang ditimbang (mauzunat). Termasuk jenis barang-barang tersebut adalah beras, kopi, gula, teh, kacang-kacangan dan sejenisnya tukar menukarnya harus sama, tidak boleh ada kelebihan dan tunai. Kemudian, illat diharamkannya tukar menukar emas (dinar) dan perak (dirham) yang tidak imbang kualitas dan kuantitasnya serta tidak tunai adalah karena kedua jenis benda ini adalah alat tukar (maqdain). Sementara itu, illat diharamkannya tukar menukar gandum, jagung, kurma, garam dan sejenisnya adalah karena semuanya benda tersebut termasuk jenis makanan pokok yang dibutuhkan manusia.

c.    Riba yad, yaitu jual beli dengan cara mengakhirkan penyerahan kedua barang yang ditukarkan (jual beli barter) atau salah satunya tanpa menyebutkan waktunya tidak saling menyerahterimakan. Artinya, kesempurnaan jual beli terhadap benda yang berbeda jenis seperti tukar menukar gandum dengan jagung tanpa dilakukan serah terima barang di tempat akad.

2.3    Proses Pelarangan Riba Dalam Al-Qur’an
    Islam melarang praktik riba dan memasukannya dalam dosa besar. Allah Swt., dalam mengharamkan riba dilakukan melalui empat tahapan.

    Tahap pertama, pada tahap ini Allah menunjukkan bahwa riba bersifat negatif. Dalam QS. Ar-Rum (30: 39) Allah menyatakan secara nasihat bahwa Allah tidak menyenangi orang yang melakukan riba. Disini Allah menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang mereka anggap untuk menolong manusia merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pada ayat ini Allah tidak menyatakan larangan dan keharaman riba secara tegas.
    وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”

Tahap kedua, Allah memberi isyarat akan keharaman riba melalui kecaman terhadap praktik riba di kalangan masyarakat Yahudi. Hal ini ditegaskan dalam QS. An-Nisa’ (4: 161). Dalam ayat ini, riba digambarkan sebagai sesuatu pekerjaan yang zalim dan batil. Allah menceritakan balasan siksa bagi kaum Yahudi yang melakukannya. Pada tahap ini, Allah lebih tegas lagi terhadap riba melalui riwayat orang Yahudi.
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”

Tahap ketiga, pada tahap ini Allah tidak mengharamkan riba secara tuntas, tetapi melarang dalam bentuk lipat ganda. Sebagaimana digambarkan dalam QS. Ali Imran (3: 130). Hal ini menggambarkan kebijaksanaan Allah yang melarang sesuatu yang telah mendarah daging, mengakar pada masyarakat sejak zaman Jahiliyah dahulu, sedikit demi sedikit (step by step), sehingga mereka yang telah biasa melakukan riba siap meninggalkanya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”

Yang dimaksud riba disini ialah riba nasi’ah. Menurut sebagian besar ulama bahwa riba nasi’ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda.
   
Tahap keempat, pada tahap ini turun surah Al-Baqarah ayat 275-276, 278-279 yang isinya tentang larangan riba secara tegas dan jelas, dalam berbagai bentuknya dan tidak dibedakan besar kecilnya. Bagi yang melakukan riba telah melakukan kriminalisasi. Dalam ayat tersebut jika ditemukan melakukan kriminalisasi, maka akan diperangi oleh Allah Swt., dan Rasul-Nya.

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لا يَقُومُونَ إِلا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (٢٧٥) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (٢٧٦) يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ (۲٧٨) فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا۟ فَأْذَنُوا۟ بِحَرْبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَٰلِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (۲٧۹)
“Orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali mengambil (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (275) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (276)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (278) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.(279)”

2.4    Dampak Riba pada Ekonomi
Kini riba yang dipinjamkan merupakan asas pengembangan harta pada perusahaan – perusahaan. Itu berarti akan memusatkan harta pada penguasa para hartawan, padahal mereka hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan anggota masyarakat, daya beli mereka pada hasil-hasil produksi juga kecil. Pada waktu yang bersamaan, pendapatan kaum buruh yang berupa upah atau yang lainnya, juga kecil. Maka, daya beli kebanyakan anggota masyarakat kecil pula.

Hal ini merupakan masalah penting dalam ekonomi, yaitu siklus-siklus ekonomi. Hal ini berulang kali terjadi. Siklus-siklus ekonomi yang berulang terjadi disebut krisis ekonomi. Para ahli ekonomi berpendapat bahwa penyebab utama krisis ekonomi adalah bunga yang dibayar sebagai pinjaman modal atau dengan singkat bisa disebut riba.

Riba dapat menimbulkan over produksi. Riba membuat daya beli sebagian besar masyarakat lemah sehingga persedian jasa dan barang semakin tertimbun, akibatnya perusahaan macet karena produksinya tidak laku, perusahaan mengurangi tenaga kerja untuk menghindari kerugian yang lebih besar, dan mengakibatkan adanya sekian jumlah pengangguran.

Lord Keynes pernah mengeluh di hadapan Majelis Tinggi (House of Lord) Inggris tentang bunga yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa negara besar pun seperti Inggris terkena musibah dari bunga pinjaman Amerika, riba dapat meretakkan hubungan, baik hubungan antara orang perorang maupun hubungan antarnegara, seperti Inggris dan Amerika Serikat.
2.5    Kontroversi Bunga Bank Konvensional

Riba disepakati ulama sebagai tindakan haram dan bertentangan dengan syariat, tetapi apakah bunga bank/lembaga keuangan konvensional termasuk riba yang diharamkan atau tidak, dalam literatur ekonomi islam konvensional sesungguhnya merupakan kontrovensi. Sebagian membolehkannya dan sebagian lagi mengharamkan. Para pendiri bank dalam konteks ini masuk kategori kedua. Di Indonesia, persoalan bunga bank konvensional juga merupakan persoalan kontrovensial. Nahdhatul Ulama, organisasi islam besar sayap tradisional, misalnya pada tahun 1938 menegaskan bahwa bunga bank halal sejauh, hal itu membawa keuntungan bagi si peminjam. Akan tetapi, persoalannya adalah apakah ada jaminan bahwa setiap peminjaman modal akan melahirkan keuntungan.  Seperempat abad kemudian, yaitu tahun 1993, Muhammadiyah, organisasi besar Islam lainnya dari sayap modernis, masih juga belum berhasil merumuskan sebuah kebijakan yang utuh tentang bunga, karena sebagian membolehkannya dan sebagian tidak (Hafner, 1998:260-261).

Di kalangan para tokoh Islam sendiri, persoalan bunga bank masih merupakan kontraversial. Beberapa tokoh seperti Syafrusin Prawiranegara, Muhammad Hatta, A.Hasan Bangil, dan Kasman Singodimedjo membolehkan. Beberapa alasan yang mereka kemukakan, dengan mengutip pendapat Muhammad Abduh, adalah bahwa bunga bank berbeda dengan riba, karena bunga bank tidak memberatkan(tidak melipat ganda), sebagaimana pesan QS 3:130. Disamping itu, bunga bank juga bukan untuk kepentingan konsumsi seperti yang dipraktekkan pada masa Jahiliah (Pra-Islam) (Raharjo, 1991: 44-52).

Meskipun begitu, bagi para ahli yang mengharamkan bunga seperti M.Amin Aziz, atau Syafi’i Antonio, Riba yang dimaksud dalam al-Qur’an adalah dua praktek ekonomi di atas, baik usuly maupun interest. Dengan pendekatan legal formal, riba didefinisikan sebagai “setiap tambahan melebihi dan diatas pokok pinjaman”, dengan mengikuti kontruksi para ahli fiqih klasik. Di antara alasan yang dikemukakan mereka adalah QS 2:278-279: ”...Dan tinggalkan apa yang tersisa dari riba”. Dengan mengutip penafsiran al-Thabari, Al-Qur’an bagi merekam dengan tegas mengharamkan apa pun sejenis tambahan yang diambil dari pinjaman, baik tambahan kecil, apalagi besar (Antonio, 2001: 50-51)

Di Saudi Arabia, sikap M.Amin Aziz, dan Syafi’i Antonio sama dengan Muhammad Ali as-Shabuni (2001: 208-209). Baginya, kata “adh’afan mudha’afah” (berlipat ganda) setelah kalimat “ jangan memakan riba” dalam QS 3:130 bukanlah sebagai syarat, melainkan penjelasan atas praktik riba yang berlipat ganda pada saat ayati itu turun. Riba disepakati para ulama sebagai sesuatu yang diharamkan, baik riba yang banyak maupun sedikit. Yang rujuknya selain QS 2:278-279 di atas, juga QS 2:276 (Allah menghapus riba dan menyuburkan sedekah). Dalam ayat ini kata riba disebut secara mutlak, tidak hanya riba besar. Bahkan, ia menuduh pihak yang halalkan bunga bank sebagai tindakan yang lemah iman yang mengimani sebagai Al-Qur’an dan mengingkari sebagai Al-Qur’an lainnya sebagai perilaku kaum Yahudi yang mengecam Al-Qur’an (QS 2:85)

Sebagaimana ditingkat para tokoh dan ahli islam, kontroversi soal bunga bank juga terjadi di masyarakat. Sebuah surve yang menjajaki pendapat 479 orang penduduk Jakarta pada tahun 1998-an menemukan bahwa hanya 34% diantara mereka yang menyetujui bunga bank. Sisanya, 25,9% “kurang setuju” dan hampir 40% menyatakan “tidak setuju” atau “sangat tidak setuju” pada bunga bank. Artinya mayoritas responden setelah bank syariah berdiri sekitar  6 tahun menyatakan agak atau keberatan dengan bunga bank (Hefner, 1998:263)

Melihat kontroversi diatas, sesungguhnya memandang haram secara mutlak atau halalkan secara mutlak tampaknya bisa dinilai sikap extrem. Alasannya, karena aset dan pelayanan bank syariah masih jauh ketimbang bank konvensional. Karenanya, masyarakat muslim sebaiknya tidak saling menyalahkan secara mutlak-mutlakan. Perbankan harus dilihat sebagai wilayah cabang belaka. Meskipun begitu, bisa dikatan sikap memilih perbankan syariah merupakan tindakan hati-hati di tengah kontroversi perbankan konvensional dan bisa dinilai lebih menentramkan secara teologi. Artinya, yang paling mantap secara keagamaan memang bertransaksi dengan perbankan syariah. Namun, para pendukung perbankan syariah tidak harus mengecam keras pilihan masyarakat muslim yang mengambil perbankan konvensional dan para praktisinya, karena walaup bagaimana pun masalah perbankan konvensional merupakan wilayah ijtihad (diperdebatkan). Apalagi, berdasarkan data juli 2013, jumlah aset perbankan syariah saat ini baru mencapai 4.9% dibandingkan dengan total aset industri perbankan konvensional, dimana aset perbankan syariah baru mencapat Rp4.510,3 triliun. Sementara aset perbankan konvensional mencapai Rp219,18 triliun (Http://ift.co.id, diakses 31 Mei 2014).
2.6    Hikmah Diharamkannya Riba
    Diantara hikmah diharamkannya riba dalam Islam adalah:
1.    Menjaga agar seorang Muslim tidak memakan harta orang lain dengan cara-cara yang batil;
2.    Mengarahkan seorang Muslim supaya menginvestasikan hartanya pada usaha yang bersih, jauh dari kecurangan dan penipuan, serta terhindar dari segala tindakan yang menimbulkan kesengsaraan dan kebencian di antara kaum Muslimin.
3.    Menyumbat seluruh jalan yang membawa seorang Muslim kepada tindakan memusuhi dan menyusahkan saudaranya sesama Muslim yang berakibat pada lahirnya celaan serta kebencian dari saudaranya.
4.    Menjauhkan seorang Muslim dari perbuatan yang dapat membawanya kepada kebinasaan. Karena memakan harta riba itu merupakan kedurhakaan dan kezaliman, sedangkan akibat dari kedurhakaan dan kezaliman itu adalah penderitaan.
5.    Membukakan pintu-pintu kebaikan dihadapan seorang Muslim untuk mempersiapkan bekal di akhirat kelak dengan meminjami saudaranya sesama Muslim tanpa mengambil manfaat (keuntungan), mengutanginya, menangguhkan utangnya hingga mampu membayarnya, memberinya kemudahan serta menyayanginya dengan tujuan semata-mata mencari keridhaan Allah. Keadaan ini dapat menyebarkan kasih sayang dan ruh persaudaraan yang tulus diantara kaum Muslimin.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Rozalinda, M.Ag, Fikih Ekonomi Syariah, Prinsip dan Implementasinya pada Sektor Keuangan Syariah, PT. RajaGrafindo Persada (Jakarta, 2016)
Prof.Hendi Suhendi. Fiqih Mu’amalah. Jakarta Pusat: Rajagrafindo Persada. 2014
Prof.Dr.Sukron Kamil,M.A., Ekonomi Islam Kelembagaan, dan konteks Keindonesiaan, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2016.

Belum ada Komentar untuk "Riba dan permasalahannya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel