Tantangan Besar Perbankan syariah

Perbankan syariah mulai menunjukkan exsistensinya pada tahun 2000-an. Fatwa MUI pada tahun 2004 yang mengatakan keharaman bunga bank, membuat sebagian masyarakat beralih dari konvensional ke syariah. Namun, hal ini tidak membuat aset perbankan syariah naik deras menyusul perbankan konvensional yang telah lama beropererasi di Indonesia.


Bank syariah memiliki kelebihan dari pada bank konvensional, akan tetapi masih memiliki banyak tantangan besar untuk bisa berada di atas angin. Awal kemunculan bank syariah dikenal dengan bank bagi hasil, dimana untung dan rugi dibagi bersama (profit and loss sharing[PLS]), dalam usia operasinya sekitar 10 tahun hingga 2002, total pembiayaan berbasis bagi hasil yang dilakukannya hanya sebesar 16.19% saja. Angka ini terdiri dari musyarakah: 1,96% dan mudharabah: 14,23% (Musyarakah yang paling sedikit direalisir). Sedangkan kegiatannya disektor non-bagi hasil sebesar 83,81%, yang terdiri dari murabbahah: 71,52%, Istishna: 6,66%, dan lain-lain: 5,63%  (Bank Indonesia : 2002)

Ditahun 2011, ada perubahan angka yang terlihat dari menurunnya pembiayaan dengan akad murabbahah. BI mencatat pembiyaan dengan akad mudharabah/musyarakah yang berbasis bagi hasil mencapai 38%.  Tetapi, akad murabbahah masih mendominasi dengan 55% dari total pembiyaan bank syariah (Http://www.republika.co.id)

Ketimpangan ini kerap menimbulkan kritikan bahkan hujatan atas “otentitas keberislaman” bank syariah. Para pengamat melihat bahwa praktik murabbahah meskipun dibenarkan secara syariah-identik dengan bunga yang “disyariatkan”. Karena itu, bank syariah pada dasarnya dianggap sama dengan bank konvensional dikurangi bunga ditambah jilbab (Prinduri, 2003). Majalah bisnis dan keuangan syariah berpengaruh, modal nomor 9/I-Juli 2003 ikut menulis dengan agak sarkstik dengan menyebutkan bank syariah sebagai “bank murabbahah”. Kepala Biro Perbankan Syariah, Hatif Hadikusuma, kemudian menghimbau pengelolah perbankan syariah untuk memperbesar pembiayaan berbasis bagi hasil, sebagai ciri utamanya. Dengan begitu, jelasnya, perbankan syariah bisa mendorong investasi di sektor riil (Republika,24/10/2003).

Rendahnya sistem bagi hasil yang seharusnya menjadi pembiayaan pokok dalam perbankan syariah, berhubungan dengan analisis Humayon, Harvey, dan Presley, juga dalam beberapa bagian dari Syafi’i Antonio (2001) mengenai kekurangan pada sistem bagi hasil, antara lain adalah :
a.    Peluang pengusaha untuk membuat laporan keuangan yang sedikit. Dalam soal melaporkan keuntungan yang sedikit, Abdullah saeed menambahkan bahwa bank syariah jarang sekali menemukan mudharib (Pengusaha) yang dapat dipercaya. Diantara faktor yang mengakibatkan hal ini adalah karena tidak adanya aturan hukum yang mengatur hubungan antara bank syariah sebagai investor dengan mudharib (pengusaha), sehingga membuat mudharib tidak curang dalam melaporkan keuntungannya dan belum ditemukan cara efektif untuk mencegahnya tidak begitu (Saeed, 2004). Selain hal ini, kemungkinan terjadinya side streaming juga besar, dimana nasabah menggunakan dana yang diberikan untuk usaha sesuai dengan kesepakatan.
b.    Bank syariah masih banyak bermain aman saja, dimana dengan sistem pembiayaan murabbahah memiliki resiko yang kecil bahkan bisa dikatakan tanpa resiko dan tentunya keuntungan yang sudah pasti.
c.    Peran investor yang terbatas dalam manajemen usaha yang dibuat nasabah, hal ini membuat bank syariah sebagai investor sebagai sleeping partners.
d.    Dalam hal pajak, sangat tidak menguntungkan, dimana profit yang dikenakan pajak adalah keuntungan yang telah dikurangi bunga karena bunga diakui sebagai biaya, sedangkan bunga tidak dikenal dalam bank syariah.
e.    Lemahnya dukungan pemerintah, bisa dilihat dana APBN pemerintah disimpan didalam bank konvensional. Jika 20% saja dana pemerintah disimpan dalam bank syariah, maka pembiayaan bank syariah akan meningkat.

Selain hal diatas, yang paling berpengaruh pada skema bagi hasil (mudharabah) karena sistem ini sangat tidak menarik untuk pengusaha kelas atas atau korporasi. Dalam sistem bagi hasil atau PLS, baik musyarakah maupun mudharabah, bank memang bisa mendapatkan bagi hasil yang lebih tinggi dari suku bunga, jika nasabah yang dibiayai/diajak bekerja sama, keuntungan yang didapatnya meningkat. Bank syariah juga memang hanya berkewajiban memberikan bagi hasil kepada nasabah penabung sesuai arus cas yang dimiliki bank (Antonio, 2001).

Lanjutan mengenai ini, dalam sistem PLS, saat pengusaha mengalami kerugian juga bisa tidak mengkibatkan bangkrut, karena kerugian pengusaha dalam PLS di bagi juga dengan bank syariah. Tetapi, dalam sistem PLS juga berarti jumlah bagi hasil dari keuntungan dari keuntungan saat pengusaha/korporasi untung bisa jauh lebih besar ketimbang suku bunga saat meminjam uang ke bank konvensional. Inilah sisi tidak menariknya bank syariah bagi korporasi. Bahkan, kelebihan suku bunga antara lain suku bunga sudah diketahui secara akuratsejak dari awal, sehingga biaya hutang sudah diketahui. Ini belum lagi ditambah dengan problem terbukanya posisi keuangan perusahaan bagi bank syariah atau intervensinya atas nama pemegang atau pemberi saham. bagian ini menambah sisi tidak menariknya bank syariah bagi korporasi (Saeed,2004:109)

Refrensi :
Prof.Dr.Sukron Kamil,M.A., Ekonomi Islam Kelembagaan, dan konteks Keindonesiaan, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2016.


Belum ada Komentar untuk "Tantangan Besar Perbankan syariah"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel