Kapitalisme dalam khazanah pemikiran Islam
Selasa, 21 November 2017
Tulis Komentar
Sumber dheen-elfetih.blogspot.co.id |
Dari permasalah ini, akan membahas mengenai kapitalisme dalam khazanah pemikiran Islam. Pokok pembahasan lebih terhadap sisi kesesuaian dan pertentangan terhadap Islam. Antara kesamaan dan pertentangan harus dikaji dengan prefesional. Dengan begitu, tidak terlalu cepat menyebutkan kapitalisme bertentangan dalam Islam.
Islam dan Kapitalisme
1.Hal memiliki
Hubungan Islam dan kapitalisme merupakan hal yang kontroversial, tiga gagasan utama kapitalisme (hak kepemilikan individual, persaingan, dan rasionalitas) dalam Islam secara umum ternyata diakui. Dalam hadis riwayat Ahmad dan Abu Daud ditemukan bahwa air, rumput, dan api dimiliki secara bersama (dalam riwayat lain ditambah dengan garam). Pada kenyataannya memanga seperti itu. Namun, bisa dipastikan, dalam Islam, tidak ditemukan sama sekali larangan untuk memiliki harta benda material bagi perorangan. Dalam ushul fiqih menjelaskan Islam diturunkan untuk kemaslahatan (kepentingan) manusia. Ada lima kepentingan manusia diantaranya menjadi agama, akal, jiwa, keturunan, dan harta. Dimana dari kelima hal ini dimiliki oleh individu.
Gagasan kapitalisme mengenai hak milik, dalam Islam diakui, bahkan dianjurkan. Usaha atau media untuk memiliki harta benda itu pun dalam Islam sangat banyak. Diantaranya jual beli, bercocok tanam, bekerja sebagai pegawai dengan pengajian tetap (ujrah), mudharabah (kemitraan modal), musyarakah (usaha patungan), murabbahah/ba’ibitsaman ajil (jual beli dengan pembayaran kemudian secara kredit) muzara’ah (kerja sama pertanian), hadiah (memberi karena menghormati orang yang diberi), hibah (pemberian biasa), dan juga warisan (QS.An-Nisa [4]: 11). Lebih lanjut, transaksi jual beli secara sukarela sebagai usaha untuk memiliki bukan saja dalam Islam dinilai halal (QS. Al-Baqarah [2]: 275 dan An-Nisa [4]:29), perintah ini menjadi suatu kewajiban seorang Muslim mencari nafkah untuk keperluan sediri dan keluarga (QS Al-Jumu’ah [62]: 4 ).
Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dijelaskan, jumlah maksimal yang boleh disedekahkan hanyalah sepertiga dari harta. Sisanya, tegas Nabi Muhammad Saw agar untuk dinikmati (agar tidak meminta-minta) atau wariskan saja kepada anak cucu, agar dinikmati sebagai harta kekayaan. Nabi Muhammad juga bersabdah meninggalkan keturunan dalam keadaan kaya jauh lebih baik ketimbang dalam keadaan miskin. Ini menandakan harta bisa dimiliki.
2. Persaingan (Konsep Pasar dalam Islam) dan Peran Negara
Persaingan merupakan gagasan lain dari Kapitalisme yang harus dijelaskan dalam Islam. Sejauh ini, Islam mengakui adanya persaingan dalam ekonomi, selama dilakukan secara sehat. Secara umum, Al-Qur’an menyebutkan adanya persaingan, :Berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan” QS Al-Baqarah[2]: 148. Mengingat kekayaan dalam Islam sebagai bagian dari kebaikan, maka persaingan usaha dalam Islam diakui. Mekanisme pasar harus berdasarkan alamiah, bukan hasil buatan yang disebatkan oleh oknum seperti melakukan ihtikar (penimbunan). Ibn Khaldun dan Abu Yusuf (731-796) dalam soal ini berpendapat bahwa pada prinsipnya, negara tidak boleh mengintervensi pasar. Negara baru boleh mengintervensi pada waktu pasar tidak berjalan dengan lancar. Contohnya ada terjadi kenaikan harga. Situasi seperti ini negara bisa meningkatkan impor, jika penyebabnya karena langkahnya barang impor. Menurut Ibn Khaldun, jika pasar tidak berjalan lancara, pemerintah juga boleh memberikan subsidi dan memaksa orang yang melakukan penimbunan untuk memasarkan barangnya (Pendapat Karim, 2003 dan 2002 dalam buku Sukron Kamil, 2016)
Sebagai suatu sistem yang diderivasi dari agama, sistem ekonomi Islam mementingkan etika dalam persaingan, tidak menghalalkan persaingan bebas. Konsep dasar ekonomi Islam dalam persaingan adalah sebagai yang diungkap QS. Al-Baqarah [2]: 279, yaitu tidak menzalimi orang lain dan juga tidak dizalimi; tidak mengeksploitasi orang lain dan tidak juga diexsploitasi; serta tidak merugikan orang lain dan juga tidak dirugikan. Konsep dasar ekonomi Islam adalah adalah win-win relation. Meski mementingkan persaingan usaha, tetapi Islam sangat menekankan keadilan ekonomi, dalam arti tidak berlaku zalim atau memberikan hak kepada pemiliknya seperti QS 4:135 dan QS 60:8. Hal ini karena, dalam pandangan Islam, keadilan, termasuk didalamya keadilan ekonomi, akan membawa pada ketakwaan (QS. 5:8), sementara ketakwaan akan membawa kemakmuran (QS 7: 96). Sebaliknya, kezaliman (ketidak adilan), termasuk kedalamnya kezaliman ekonomi akan membawa pada kesesatan (QS 28:50, 46:10, 61:7, 62:5) dan akan menjauhkan dari rahmat Allah SWT. Sisi inilah yang membedakannya dengan kapitalisme dan konsep Islam.
Sesuai dengan asas keadilan dalam persaingan usaha ini, dalam Islam riba sebagai simbol rkonomi yang hanya menguntungakan pemilik modal, diharamkan (QS Ali Imran [3]: 130). Pasalnya, karena para pengguna riba (rentenir), mayoritas dari kalangan kaum lemah secara ekonomi untuk kepentingan konsumsinya. Sementara itu, sebagaimana praktik di Romawi, pada saat Islam datang, seseorang karena terjerat utang, bisa jatuh menjadi budak. Selain itu, alasan pengharaman riba juga karena bertentangan dengan asas ekonomi dalam Islam diatas, yaitu asas saling menguntungkan.
3. Rasionalisme Ekonomi
Konsep terahir yang sejalan dengan Islam adalah rasionalisme dengan keuntungan sebagai ukuran yang ditekankan kapitalisme. Alasannya, karena asas utama ekonomi Islam adalah saling menguntungkan (win-win relation) yang sudah dijelaskan diatas (QS Al-Baqarah: 279). Bahkan yang menarik, dalam al-Qur’an, logika bisnis yang mencari keuntungan itu dipakai juga dalam mengajak manusia pada kebaikan atau kepentingan akhirat. Dalam QS As-Shaf [61]: 10-11 misalnya diungkapkan : “Apakah kamu mau ditunjukkan pada bisnis (perdagangan) yang membuat kamu (mendapatkan keuntungan) selamat dari api neraka yang pedih? Yaitu, beriman kepada Allah dan Rasulnya serta berjihad (berjuang) di jalan Allah dengan harta dan raga” (Shihab, 1997:4-7). Dalam hadist juga dijelaskan bahwa orang yang pada hari ini sama dengan hari kemarin adalah orang yang merugi. Apalagi, orang yang hari ini lebih buruk dari kemarin. Dalam hadist ini, betapa efisiensi dan efektivitas sebagai logika ekonomi sengat dipentingkan dalam Islam.
Dalam Islam juga, sejauh yang bisa dilihat, tiga rasio kapitalisme, yaitu rasio instrumental, hukum, dan ilmiah juga tidak bertentangan dengan Islam. Hal ini, karena teknologi harus dilihat sebagai kepanjangan tangan manusia dalam fungsinya selaku khalifah yang diberi wewenang untuk mengelolah, memanfaatkan, dan memakmurkan alam semi kesejahtraan hidup (QS Al-Jatsiyah [45]: 13). Tentu saja, dengan catatan, selama teknologi itu tidak digunakan manusia dalam aktivitas ekonomi untuk pengrusakan terhadapa alam, mengingat setiap pengrusakan terhadap alam merupakan pengrusakan terhadap diri sendiri (QS Al-A’araf: 56 dan QS Ar-Rum: 41). Sisi terahir ini yang membedakan Islam dengan praktek kapitalisme global yang tidak ramah lingkungan. Rasio hukum, dalam Islam, bisa dilihat QS Al-Baqarah: 282 yang memerintahkan agar traksaksi utang piutang, dan transaksi ekonomi lainnya, dilakukan secara tertulis sebagai bukti yang tidak menimbulkan keraguan dan persengketaan. Adapun rasio ilmiah, bisa dilihat dari pengakuan Isalm atas pentingnya manusia dalam menjalani hidup dengan merujuk, selain wahyu, juga pada pengetahuan yang didasarkan atas hasil penelitian empiris (QS Yunus: 101 dan QS Al-Ghasyiyah: 17-20) dan rasional (QS Ali Imran: 189-190).
Namun, tentu saja, sebagaimana dalam soal hak milik dan persaingan, dalam pelaksanaan rasionalitas ekonomi diatas juga harus mempertimbangkan nilai-nilai etis seperti tidak serakah dan tidak melanggar etika (fitrah manusia).
Daftar Pustaka
Sukron Kamil, Ekonomi Islam kelembagaan, dan Konteks Keindonesiaan, Depok: Rajagrafindo Persada, 2016.
Belum ada Komentar untuk "Kapitalisme dalam khazanah pemikiran Islam"
Posting Komentar