Baitul Mal dan Sejarah Ringkas Baitul Mal
Selasa, 21 November 2017
Tulis Komentar
Sumber habadaily.com |
Baitul Mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti rumah, dan al-mal yang berarti harta. Jadi secara etimologis (ma’na lughawi) Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta (Dahlan, 1999).
Adapun secara terminologis (ma’na ishtilahi), sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum (1983) dalam kitabnya Al Amwaal Fi Daulah Al Khilafah, Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak (Arab: al jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara.
Baitul mal atau kas negara, menurut sebagian orang, tidak didirikan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri ketika beliau mendirikan negara Islam di Madinah pandangan ini didukung oleh mayoritas sejarawan islam dengan alasan bahwa didalam pemerintahan Nabi Muhammad penerimaan negara adalah sedemikian kecilnya sehingga tidak pernah melebihi pengeluran, sehingga perlunya baitulmal tidak pernah dirasakan. Menurut pandangan yang lebih akhir dan lebih dominan, baitulmal pertama kali didirikan dimasa pemerintahan khalifah Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad di tahun 632 M. sebagai Khalifah pertama negara Islam. Dengan ditaklukkannya Irak, syria dan beberapa negeri lain, terdapatlah peningkatan yang luar biasa dalam penerimaan negara Islam, dan hal itu menimbulkan kebutuhan akan adanya sebuah kas Negara. Meski demikian, baitulmal terlihat dalam bentuk yang sebenarnya sebagai lembaga permanen terjadi dalam masa pemerintahan Khalifah ‘Umar, khalifah kedua. Di masa pemrintahannyalah harta dari negeri-negeri bekas kekaisaran Iran dan Roma yang ditaklukkan mulai tercurah ke dalam negeri Islam, sehingga lembaga baitulmal pun lalu menjadi departemen negara Islam yang amat penting lagi kuat.
Ada baiknya jika di sini diterangkan lebih dahulu konsep baitulmal, sebagaimana yang digambarkan oleh kaum muslimin awal yang mendirikannya, sebelum kita melangkah lebih jauh membicarakan mengenai sumber-sumber penerimaan serta arah pengeluarannya “Setiap harta yang menjadi milik kaum Muslimin secara umum dan bukan milik seorang Muslim tertentu, siapa pun dia, menjadi bagian dari asset milik kas negara (baitulmal). Tidak penting, apakah harta yang bersangkutan itu berada didalam brankas (hirz) agar dapat disebut harta milik baitulmal, karena konsepsi baitulmal merujuk kepada tujuan harta itu, bukan lokasinya. Oleh karena itu, setiap pengeluaran yang dilakukan demi kepentingan umum kaum Muslimin adalah merupakan tanggung jawab baitulmal dan, jika telah dikeluarkan, maka dianggap bahwa baitulmal telah mengeluarkannya dari brankasnya. Ini berarti bahwa penerimaan yang berada ditangan kolektor publik atau telah mereka keluarkan secara langsung, sebenarnya adalah bagian dari penerimaan dan pengeluaran baitulmal itu sendiri, dan oleh karena itu harus tunduk kepada aturan baitulmal pula.
Penerimaan yang ada di dalam baitulmal digolongkan menjadi tiga oleh para fukaha klasik, yakni: (1) penerimaan “zakat” dan “sedekah” (2) penerimaan “ghanimah” atau rampasan perang, dan (3) penerimaan ‘fai’ seperti jizyah dan kharaj. Kesemua penerimaan tersebut telah dibicarakan dengan cukup di bab sebelum ini. Oleh karena penerimaan jenis kedua dan ketiga tidak lagi tersedia bagi negara Islam modern, maka kedudukannya digantikan oleh pajak.
Kelompok-kelompok penerimaan di atas senantiasa dipisah-pisahkan di dalam baitulmal karena butir-butir pengeluarannya juga berbeda-beda di dalam syariat. Zakat dan sedekah dapat dikeluarkan sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an (dalam ayat 60 surat at-taubah) yang terutama sekali berhubungan dengan kesejahteraan kaum fakir dan miskin, sedangkan jenis penerimaan yang lain dikeluarkan sesuai dengan pertimbangan pemerintah untuk memenuhi tanggung jawabnya yang amat luas seperti penegakan hukum dan keadilan, administrasi pemerintahan, transportasi dan komunikasi, pembangunan ekonomi, pendidikan dan kesehatan serta program-program sosial lainnya.
Suatu bentul pengorganisasian baitulmal yang ada selama pemerintahan Islam adalah yang ada di masa pemerintahan Khalifah ‘Umar, khalifah kedua. Baitulmal pusat ada di ibu kota negara langsung berada di dalam kendali khalifah. Sedangkan baitulmal provinsi berada di bawah tanggung jawab gubernur provinsi. Pada saat itu belum ada bank sentral maupun bank umum. Kelihatannya semua kebutuhan dan keperluan pemerintah dan masyarakat dipenuhi oleh baitulmal yang mengawasi penerimaan dan pengeluaran publik, membantu kaum miskin dan melakukan fungsi-fungsi yang hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh kementrian keuangan zaman sekarang. Sebagai tambahan, baitulmal juga melaksanakan fungsi bank sentral kecuali mengeluarkan uang, pengendalian kredit dan suku bunga yang memang merupakan peralatan moneter modern.
2.7 Sejarah Ringkas Baitul Mal
Kebijakan pada masa Rasulullah (1-11 H/622-632 M)
Menarik untuk diketahui, bagaimana kira-kira bentuk kebijakan fiskal dimasa Rasulullah yang memegang kekuasaan pemerintah pertama di kota Madinah. Ketika itu negara tidak mempunyai kekayaan apa pun, karena sumber penerimaan negara hampir tidak ada.
Segala yang dilakukan Rasulullah dalam awal masa pemerintah dilakukan berdasarkan keiklasan sebagai bagian dari kegiatan dakwah yang ada. Umumnya para sahabat tidak meminta balasan material dari segala kegiatan meraka dalam dakwah tersebut.
Dengan adanaya perang Badar pada abad ke-2 Hijriah., negara mulai mempunyai pendapatan dari perlima rampasan perang(ghanimah) yang disebut dengan khums, sesuai dengan firman Alah dalam QS. Al-Anfaal ayat 41.
Selain dari khums, akibat peperangan tersebut diperoleh pula pendapatan dari tebusan tawanan perang bagi yang ditebus (rata-rata 4.000 dirham untuk tiap tawanan), tetapi bagi yang tidak ditebus diwajibkan mengajar membaca masing-masing sepuluh orang muslim. Kemudian sebagai akibat penghianatan Bani Nadhir terhadap nabi setelah perang Uhud, Rasulullah mendapatkan tanah wakaf yang pertama dalam sejarah Islam.
Dengan adanya harta tersebut, dibuatlah Baitul Mal. sesuatu yang revolusioner yang dilakukan Rasulullah SAW adalah pembentukan lembaga penyimpanan yang disebut Baitul Mal. Apa yang dilakukan Rasul itu merupakan proses penerimaan pendapatan (revenue collection) dan pembelanjaan (expenditure) yang transparan yang bertujuan apa yang disebut sekarang ini sebagai welfare oriented. Ini sangat asing pada waktu itu, karena umumnya pajak-pajak yang dikumpulkan oleh para penguasa di kerajaan-kerajaan tetangga sekitar Jazirah Arabia seperti Romawi dan Persia umumnya dikumpulkan oleh seorang mentri dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kaisar dan raja.
Pada masa Rasulullah, pemasukan Baitul Mal juga sudah ada dari zakat, jizyah, kharaj, ushr, dan pendapatan lain. Penerimaan dan pengeluaran negara seluruhnya dikelolah oleh Baitul Mal dengan menganut asas anggaran berimbang (balence budget) artinya semua penerimaan habis digunakan untuk pengeluaran negara(government expenditure).
Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Keadaan tersebut terus berlangsung sepanjang masa Rasulullah SAW. Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, hal itu masih berlangsung di tahun pertama kekhilafahannya (11 H/632 M). Jika datang harta kepadanya dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu ke Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Untuk urusan ini, Khalifah Abu Bakar telah mewakilkan kepada Abu Ubaidah bin Al Jarrah. Hal ini diketahui dari pernyataan Abu Ubaidah bin Al Jarrah saat Abu Bakar dibai’at sebagai Khalifah. Abu Ubaidah saat itu berkata kepadanya, “Saya akan membantumu dalam urusan pengelolaan harta umat.”
Kemudian pada tahun kedua kekhilafahannya (12 H/633 M), Abu Bakar merintis embrio Baitul Mal dalam arti yang lebih luas. Baitul Mal bukan sekedar berarti pihak (al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat (al-makan) untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya ? berupa karung atau kantung (ghirarah) ? untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M.
Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam masalah harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu Bakar ? yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang ? membawa barang-barang dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab. Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?” Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah, yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4.000 dirham setahun yang diambil dan Baitul Mal.
Menjelang ajalnya tiba, karena khawatir terhadap santunan yang diterimanya dari Baitul Mal, Abu Bakar berpesan kepada keluarganya untuk mengembalikan santunan yang pernah diterimanya dari Baitul Mal sejumlah 8.000 dirham. Ketika keluarga Abu Bakar mengembalikan uang tersebut setelah beliau meninggal, Umar berkomentar, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Ia telah benar-benar membuat payah orang-orang yang datang setelahnya.” Artinya, sikap Abu Bakar yang mengembalikan uang tersebut merupakan sikap yang berat untuk diikuti dan dilaksanakan oleh para Khalifah generasi sesudahnya (Dahlan, 1999).
Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Setelah Abu Bakar wafat dan Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan para bendaharawan kemudian masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Mal. Ternyata Umar hanya mendapatkan satu dinar saja, yang terjatuh dari kantungnya.
Akan tetapi setelah penaklukan penaklukan (futuhat) terhadap negara lain semakin banyak terjadi pada masa Umar dan kaum muslimin berhasil menaklukan negeri Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota Madinah. Oleh karena itu, Umar lalu membangun sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta, membentuk diwan-diwannya (kantor-kantornya), mengangkat para penulisnya, menetapkan gaji-gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun angkatan perang. Kadang kadang ia menyimpan seperlima bagian dari harta ghanimah di masjid dan segera membagi bagikannya. Mengenai mulai banyaknya harta umat ini, Ibnu Abbas pernah mengisahkan : “Umar pernah memanggilku, ternyata di hadapannya ada setumpuk emas terhampar di hadapannya. Umar lalu berkata : “Kemarilah kalian, aku akan membagikan ini kepada kaum muslimin. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui mengapa emas ini ditahan-Nya dari Nabi-Nya dan Abu Bakar, lalu diberikannya kepadaku. Allah pula yang lebih mengetahui apakah dengan emas ini Allah menghendaki kebaikan atau keburukan”
Selama memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Kuraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan, 1999)
Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun, karena pengaruh yang besar dan kaum keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan ? yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M ? dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan Ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, “˜Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya”.
Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
Ketika berkobar peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani Umayyah), orang-orang yang dekat di sekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil dana dari Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya. Tujuannya untuk mempertahankan diri Ali sendiri dan kaum muslimin. Mendengar ucapan itu, Ali sangat marah dan berkata, “Apakah kalian memerintahkan aku untuk mencari kemenangan dengan kezaliman? Demi Allah, aku tidak akan melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit.”(Dahlan, 1999)
DAFTAR PUSTAKA
Mustafa E.Nasution DKK, Pengenalan eksklusif ekonomi islam, Jakarta: Prenadamedia group, 2015.Hal. 228
Dr.Muhammad,M.Ag., Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: Unit Penerbit STIM YKPN, 2011 hal. 25
M. Shiddiq al-Jawi, Baitul Mal dalam Sistem Ekonomi Islam, http://jurnal-ekonomi.org/category/jurnal/ekonomi-syariah/, posting 07 Mei 2004
Belum ada Komentar untuk "Baitul Mal dan Sejarah Ringkas Baitul Mal"
Posting Komentar